Kamis, 15 November 2018

Pengalaman Pertama Mendaki Gunung, Langsung Ke Gunung Ciremai

Pagi itu, hari Sabtu, 11 Agustus 2018 seperti biasa teman-temanku, Ramdhan (Bara), Rifky (Levi), Andrew, Boy, Jipeng, Gilang dan Andi (Jhon) datang ke rumahku untuk sekedar ngopi dan ngobrol santai. Kami memang sering berkumpul seperti ini, karena memang kami mempunyai hobi yang sama, yaitu berpetualang di alam bebas. Sudah banyak destinasi wisata, khususnya di Jawa Barat yang kami kunjungi, seperti : Bukit Jaling, Gunung Kasur, Gunung Bendera, Pantai Ujung Genteng, Pantai Santolo, Curug Ngebul, Curug Terekel, dan masih banyak lagi. Sebenarnya, kami tidak terlalu paham dan berpengalaman dalam hal petualangan di alam bebas atau adventure, kami hanya bermodalkan nekat dan pengetahuan seadanya untuk berpetualang. Bisa dibilang, kami ini pemula dalam hal adventure.

Waktu terasa cepat berlalu pagi itu, tiga jam sudah kami habiskan waktu hanya untuk sekedar ngopi dan ngobrol santai. Ditengah-tengah obrolan santai kami, tiba-tiba temanku Jhon membuka obrolan yang serius, "guys, bentar lagi kan hari kemerdekaan, gimana kalo kita rayain hari kemerdekaan tahun ini dengan mengibarkan bendera merah putih di puncak gunung tertinggi di Jawa Barat?", Serunya. Seketika kami pun terdiam dan saling menatap kebingungan satu sama lain. Jujur sih, kami sedikit kaget dengan ajakan gilanya itu, karena memang sejauh ini kami belum pernah mendaki gunung 'asli', apalagi gunung yang dia maksud itu adalah Gunung Ciremai, yang merupakan gunung tertinggi di Provinsi kami, Jawa Barat. Setelah cukup lama terdiam, akhirnya kami pun sepakat mengiyakan ajakan gilanya itu, meskipun dengan perasaan yang deg-degan. 

Lama sudah kami ngobrol dan membahas semua yang berkaitan dengan Gunung Ciremai yang akan kami 'taklukan' nanti, hingga tak terasa jam di rumahku sudah menunjukan pukul 4 sore. Waktunya kami berpisah, karena teman-temanku harus pulang ke rumahnya masing-masing.

Keesokan harinya, aku mengajak teman-temanku untuk ngumpul kembali di rumahku. Hari ini kami berencana untuk membuat semacam kepanitiaan kecil untuk mengurus segala sesuatu yang diperlukan nanti saat kami mendaki Gunung Ciremai. Setelah lama berunding, terbentuklah struktur organisasi kepanitiaan kami. Levi yang menjadi ketua kelompok, Jhon seksi logistik dan perlengkapan, aku sendiri menjadi bendahara, dan sisanya, mereka ditugaskan untuk membantu apa saja yang diperlukan. Hari ini kami mulai menyusun segala persiapan yang diperlukan nanti pada saat mendaki, karena memang ini pendakian yang tidak main-main dan kali pertama kami mendaki gunung setinggi Ciremai. Kami mulai berhitung, berapa biaya yang diperlukan nanti, mulai dari biaya transportasi, perlengkapan kelompok, logistik kelompok, P3K kelompok dam tiket masuk Taman Nasional Gunung Ciremai. Selain menghitung biaya, kami pun mencari tahu jalur mana saja yang cocok untuk pendaki pemula semacam kami. Kebetulan, teman kuliahnya Jhon ada yang pernah mendaki Gunung Ciremai, dia menyarankan agar mengambil jalur Palutungan saja, karena menurutnya, jalur tersebut memiliki medan yang 'ringan' dan ramai jika dibandingkan dengan jalur lain seperti Linggarjati. Setelah berunding, kami semua sepakat untuk mengambil jalur Palutungan seperti yang disarankan temannya Jhon. Akhirnya kami memutuskan untuk mengakhiri 'rapat' hari ini. Waktu pun tak terasa sudah menunjukan pukul 3 sore. Saatnya teman-temanku pulang ke rumah masing-masing.

Esoknya, seperti biasa aku bangun pukul 4, dan aku mempersiapkan fisik dengan berolahraga ringan di sekitar kampungku. Aku pun menyuruh teman-temanku untuk mempersiapkan diri masing-masing, karena ini bukan pendakian yang main-main.

Hari-hari menjelang pendakian, aku habiskan untuk berlatih fisik dan mempersiapkan perlengkapan untuk mendaki. Meski awam, tetapi aku punya tekad yang tinggi untuk bisa 'menaklukan' puncak tertinggi di Jawa Barat tersebut. Apalagi ini momen hari kemerdekaan Indonesia. Aku harus bersungguh-sungguh dalam berlatih, agar mimpiku mengibarkan sangsaka merah putih di puncak Gunung Ciremai bisa tercapai.

Hari-hari berlalu begitu cepat, tak terasa, tibalah pada waktu yang kami tunggu-tunggu, ya, inilah hari dimana kali pertama kami mendaki gunung. Sebelumnya, kami sudah berunding dan sepakat bahwa titik pemberangkatan dan meeting point akan kami lakukan di rumah Levi, karena memang rumahnya yang paling strategis. Kamis pagi, tanggal 16 Agustus kami semua sudah berkumpul di rumah Levi. Sebelum berangkat, kami semua mengecek kendaraan masing-masing, perlengkapan pribadi, dan kondisi fisik masing-masing. Waktu sudah menunjukan pukul 9 pagi, mentari sudah terasa panas di pundak, kami pun langsung bergegas meninggalkan titik pemberangkatan menuju Kota Kuningan. Sengaja kami berangkat pagi-pagi dari Cianjur agar sampai di Kuningan tidak terlalu malam, karena perjalanan kami cukup panjang dan memakan waktu, melewati 3 kota di Jawa Barat, yaitu Bandung, Sumedang, dan Majalengka.

Ditengah perjalanan, kami memutuskan istirahat sejenak di daerah Cileunyi, Bandung untuk sekedar ngopi dan memulihkan tenaga kami. Waktu itu, jam sudah menunjukan pukul 12 tepat, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kembali pada pukul 1 siang, karena memang perjalanan dari Cianjur menuju Cileunyi ini cukup melelahkan, ditambah kondisi jalan saat itu memang sedang padat, apalagi di sepanjang Jalan Padalarang hingga Cimahi.

Waktu sudah menunjukan pukul 1 siang, kami harus segera melanjutkan perjalanan menuju Kuningan. Dari sini, perjalanan kami masih cukup panjang, diperkirakan akan memakan waktu sekitar 4 - 5 jam lagi untuk sampai di Kota Kuningan. Sepanjang perjalanan dari Cileunyi menuju Kuningan, kami disuguhkan oleh pemandangan alam yang indah. Jalan berkelok di sepanjang Cadas Pangeran, Sumedang membuat perjalanan kami semakin terasa asyik, hingga tak terasa, 4 jam sudah kami habiskan waktu di perjalanan, dan sampailah di kota tujuan kami, Kota Kuningan. Tepat pukul 5 sore, kami sampai di basecamp pendakian Gunung Ciremai jalur Palutungan, Kuningan. Kami langsung reservasi tiket dan medical check up kepada petugas basecamp. Namun karena saat itu waktu sudah sore, jadi kami tidak diizinkan untuk mendaki sekarang, karena terkait keamanan para pendaki jika memaksakan mendaki di malam hari. Petugas basecamp menyarankan agar kami menginap dulu semalam disini sebelum melakukan pendakian esok pagi. Baiklah kami pun sepakat untuk menginap dulu di kawasan basecamp Palutungan. Kami tidur di teras basecamp dengan alas tidur seadanya. Udara disini sangat dingin sekali, karena memang basecamp Palutungan ini merupakan kawasan dataran tinggi di Kota Kuningan.

Esok pun tiba, kami semua bangun pukul 4 pagi dan langsung bergegas mandi serta mempersiapkan lagi segala keperluan mendaki kami. Setelah semuanya siap, tepat pukul 5 pagi kami memulai pendakian Gunung Ciremai. Saat itu, perasaanku campur aduk antara senang dan takut kecapean dan tidak sampai puncak. Namun aku tetap semangat dan bertekad untuk bisa mengibarkan sangsaka merah putih di puncak Gunung Ciremai. Karena ini kali pertama kami mendaki gunung setinggi ini, jadi kami sering berhenti untuk beristirahat, membuat waktu pendakian kami menjadi sedikit lama.

Dua jam sudah kami berjalan menyusuri jalur pendakian ini, hingga sampailah kami di pos pendakian pertama, Pos Cigowong. Di pos ini ternyata sudah banyak pendaki lain yang sampai duluan dan beristirahat. Kami beristirahat cukup lama di pos ini untuk memulihkan tenaga dan mengambil beberapa jerigen air untuk persediaan kami nanti di puncak, karena menurut petugas pos, disinilah tempat terakhir yang terdapat mata air, selanjutnya kami tidak akan lagi menemukan sumber air. Disini, kami mengambil air cukup banyak, karena takut di tengah perjalanan, kami terserang dehidrasi yang akan membahayakan kami. Air disni sangat dingin dan jernih sekali, jadi kami tidak khawatir untuk meminum air ini tanpa dimasak. Teman-temanku yang lain bahkan ada yang mandi dulu disini, karena di perjalanan selanjutnya, kami tidak akan bisa mandi seperti ini. Aku sendiri memutuskan untuk diam dan beristirahat saja, tidak ikut mandi karena udaranya dingin sekali.

Setelah semuanya selesai istirahat dan mandi, kami langsung bergegas melanjutkan perjalanan agar tidak terlalu memakan waktu lama. Perjalanan dari pos Cigowong ini cukup ramai karena berbarengan dengan pendaki lain, jadi tidak terlalu bosan. Sembari berjalan menyusuri jalur pendakian, kami banyak berbincang dan berbagi pengalaman dengan pendaki lain. Ada yang sudah profesional, ada pula yang baru pertama kali mendaki seperti kami. Kami jadi mendapat ilmu baru dari para pendaki lain.

Tak terasa, 30 menit sudah kami berjalan dari Pos 1 Cigowong, dan sekarang kami sudah sampai di Pos 2 Kuta. Pos 2 Kuta ini cukup sempit, ini merupakan pos bayangan untuk sekedar beristirahat sejenak dan minum. Disini kami tidak terlalu lama beristirahat, karena memang areanya cukup sempit, jika berlama-lama istirahat di pos ini, kasihan pendaki lain tidak kebagian tempat untuk beristirahat. Maka, setelah sekitar 15 menit kami beristirahat, kami pun langsung melanjutkan perjalanan dan meninggalkan pos ini.

Dari Pos 2 Kuta ini, perjalanan mulai terasa berat, karena medan semaki terjal. Namun menurut pendaki lain yang sebelumnya pernah mendaki Gunung Ciremai, trek ini belum seberapa jika dibandingkan dengan perjalanan dari pos-pos selanjutnya. Kami sedikit kaget mendengar pernyataan tersebut, tapi kami tetap bertekad untuk sampai puncak dan mengibarkan sangsaka merah putih di Puncak Gunung Ciremai. Kami.mulai merasa kelelahan, intensitas berhenti kami jadi semakin rapat setelah meninggalkan Pos 2 Kuta tadi. Tapi tak apa, karena ini memang kali pertama kami mendaki gunung, yang penting sampai puncak dengan selamat, tak peduli berapa lama waktu pendakian kami untuk sampai puncak. Menurut info, pendaki yang sudah profesional saja bisa menghabiskan waktu 8 jam untuk bisa sampai puncak, bagaimana dengan kami yang pemula? Ah, sudahlah, yang penting sampai.

Satu jam lebih kami berjalan meninggalkan Pos 2 Kuta, kini tibalah kami di Pos 3 Paguyangan Badak. Nama posnya cukup lucu, Paguyangan Badak itu artinya tempat berkubangnya badak dalam Bahasa Indonesia. Menurut pernyataan petugas Taman Nasional Gunung Ciremai, tempat ini dulunya memang area untuk badak-badak berkubang. Namun kini hanya tinggal nama, populasi badak semakin menurun dan mendekati angka kepunahan. Kami cukup sedih mendengar pernyataan tersebut, karena kini kami tidak bisa dengan mudah bertemu badak-badak liar. Semua itu ulah keserakahan manusia yang merampas hak-hak dan habitat satwa liar. Kami disini beristirahat cukup lama, sekitar 30 menitan, ini juga merupakan pos bayangan, jadi tidak terlalu besar. Namun karena saat itu sedang sepi, jadi kami bisa leluasa beristirahat disini.

Selesai sudah kami beristirahat dan menghabiskan waktu sekitar 30 menit di Pos 3 Paguyangan Badak. Kini saatnya kami melanjutkan perjalanan kembali, karena perjalanan kami masih sangat panjang. Menurut info yang kami dapat, pendakian Gunung Ciremai jalur Palutungan ini memiliki 9 pos sebelum akhirnya sampai di puncak, dan perjalanan dari setiap pos ke pos lainnya memiliki trek yang bervariasi, ada yang landai, sedang, terjal, dan bahkan terjal sekali. Trek adri Pos 3 menuju Pos selanjutnya ini memang memiliki trek yang lumayan landai, namun dengan jarak tempuh yang lebih panjang, butuh waktu sekitar 1 jam lebih untuk sampai di pos selanjutnya. Di perjalanan kali ini kami tidak terlalu banyak berhenti karena trek yang kami lalui ini tidak terlalu terjal. Hanya butuh waktu kurang lebih satu setengah jam, kami sudah sampai di Pos 4 Arban.

Pos 4 Arban ini memiliki area yang cukup luas, banyak pendaki lain yang mendirikan bifak dan hammock di pos ini sebelum melanjutkan perjalanan selanjutnya yang memiliki trek sangat terjal, ya, Tanjakan Asoy. Tanjakan ini menjadi momok menakutkan untuk para pendaki Ciremai jalur Palutungan. Bagaimana tidak, kita harus melewati tanjakan ini dengan cara memanjat akar pohon seadanya, tingkat kemiringannya pun hampir mendekati vertikal. Kami istirahat cukup lama di pos ini, karena areanya luas dan datar, kami menyempatkan untuk memasak mie instan dan menyeduh kopi dulu disini agar tenaga kami pulih kembali. Pendaki lain pun sama, banyak yang masak atau sekedar ngopi santai di pos ini, bahkan ada yang menginap dulu disni. Badan kami mulai terasa pegal-pegal, dan udara semakin dingin menusuk tulang. Dari sini kami bisa melihat ganasnya Tanjakan Asoy. Setelah istirahat kurang lebih 1 jam, kami putuskan untuk melanjutkan kembali perjalanan. Tidak lupa kami membersihkan kembali sisa-sisa sampah makanan kami, karena kalau bukan kita yang menjaga alam ini, siapa lagi.

Dan inilah saatnya tiba, trek yang paling terjal di jalur Palutungan ini sudah didepan mata kami. Perasaan takut ada, tapi kami tak boleh menyerah disini, kami harus tetap semangat dan menaklukan Tanjakan Asoy ini. Disini, kekompakan dan kekuatan kami diuji. Satu per satu dari kami mulai memanjat, kami dituntut untuk selalu teliti dengan pijakan kami disini, salah berpijak sedikit saja bisa berakibat fatal. Selain treknya yang terjal dan vertikan, tanahnya pun berpasir tebal, hal ini menambah tantangan kami. Kami harus benar-benar berpegang erat pada akar-akar pohon yang ada, kalau tidak, resiko terbesarnya adalah terjatuh ke bawah. Akhirnya, dengan perjuangan yang besar, satu per satu dari kami berhasil melewati Tanjakan tersebut dengan selamat, meskipun lecet-lecet sedikit. Sebenarnya, setelah kita melewati Tanjakan Asoy itu terdapat satu pos lagi, yaitu Pos 5 Tanjakan Asoy, tapi kami sepakat untuk tidak berhenti di Pos tersebut, karenad selain areanya yang sempit, kontur tanahnya pun tidak rata. Akhirnya kami terus berjalan dan sepakat untuk beristirahat di pos selanjutnya, yaitu Pos 6 Pasanggrahan 1. Menurut info yang kami dapat dari pendaki lain, Pos 6 memiliki area yang cukup luas, dan cocok untuk tempat beristirahat lama sebelum melanjutkan perjalanan ke pos selanjutnya yang treknya semakin keatas semakin terjal. Perjalanan dari Tanjakan Asoy menuju Pos 6 memang terjal, jarak tempuhnya pun panjang. Di perjalanan kali ini, kami sering berhenti, karena badan kami mulai kelelahan dan pegal-pegal. Waktu tempuh menuju Pos 6 pun jadi sangat lama. Ditengah perjalanan menuju Pos 6 Pasanggrahan 1, tiba-tiba temanku Levi cidera, katanya tulang pinggulnya bengkak, sulit untuk berjalan. Akhirnya kami pun berhenti dan mencari solusi terbaik. Setelah berunding cukup lama, akhirnya kami sepakat untuk membagi kelompok menjadi dua, satu kelompok yang terdiri dari Bara, Jhon dan Boy diberangkatkan terlebih dahulu ke Pos 7 Pasanggrahan 2 untuk mendirikan tenda disana, karena memang di Pos itulah para pendaki bermalam sebelum esoknya melanjutkan perjalanan ke puncak, Pos tersebut juga merupakan Pos terakhir yang diperbolehkan oleh petugas untuk bermalam sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak, karenak jika hari sudah mulai gelap, semua pendaki dilarang melanjutkan perjalanan ke puncak. Akhirnya kami berpisah, kelompok satu kami berangkatkan terlebih dahulu untuk mendirikan tenda, karena khawatir tidak kebagian lahan. Sementara kelompok dua yang terdiri dari aku, Andrew, dan Imam menyusul di belakang, karena kami harus menemani Levi yang sedang sakit. Disinilah kekompakan kami diuji kembali, ketika ada teman yang sakit, kami harus menyesuaikannya, bahu-membahu menolongnya. Ketika kelompok satu sudah tak terlihat di pandangan kami, kami kelompok dua harus tetap menyesuaikan kecepatan berjalan kami dengan Levi. Kadang kami bergantian membawakan tasnya.

Setelah berjam-jam kami berjalan, akhirnya kami sampai juga di Pos 6 Pasanggrahan 1. Sementara kelompok satu entah sudah sampai mana, mungkin mereka sudah sampai di Pos 7 Pasanggrahan 2, dan mendirikan tenda, atau mungkin mereka juga masih di perjalanan, entahlah, yang pasti kami harus tetap setia menemani teman kami yang sedang sakit. Cukup lama kami istirahat di Pos ini, karena kami harus benar-benar memastikan bahwa Levi sudah kuat untuk melanjutkan perjalanan.

Setelah cukup lama kami beristirahat di Pos 6, kami pun langsung melanjutkan kembali perjalanan kami, karena dikhawatirkan kami kemalaman di jalan. Kami terus menyemangati Levi agar dia kuat berjalan kembali. Perjalanan dari Pos 6 menuju Pos 7 memang lebih terjal dari perjalanan sebelumnya, ditambah udara yang semakin dingin. Dalam perjalanan ini, kami sering berhenti, karena menyesuaikan dengan keadaan Levi. Hari sudah mulai gelap, sementara kami masih setengah perjalanan menuju Pos 7. Tapi kami harus tetap melanjutkan perjalanan ini, karena tidak mungkin kami bermalam di jalur pendakian, karena medannya terjal dan jalannya sempit sekali. Langkah demi langkah kami lewati dengan sabar dan penuh perjuangan. Tepat pukul 7 malam, kami sudah bisa melihat lampu-lampu bersinar, itu tandanya kami sudah mendekati Pos 7, tempat dimana kami akan bermalam. Tak terasa, kami pun akhirnya sampai di Pos 7 pasanggrahan 2, Pos terakhir untuk para pendaki mendirikan tenda dan bermalam. Kedatangan kami disambut hangat oleh kelompok satu yang sudah lebih dulu sampai dan mendirikan tenda. Aku bangga pada teman-temanku, disaat keadaan seperti ini, jiwa kekeluargaan mereka tetap kokoh. Kami pun bergegas menuju tenda untuk ganti baju dan beristirahat sejenak. Sementara kami istirahat, temanku yang lain memasak dan menyiapkan makan malam untuk kami. Disini kami memasak makanan seadanya, hanya nasi liwet dengan lauk tahu, tempe dan sosis, serta saus sambal untuk menambah cita rasa. Meskipun makanan yang kami santap ini sangat sederhana, tapi terasa sangat nikmat jika dimakan bersama teman-teman yang luar biasa. Selesai makan, kami langsung menyeduh kopi sembari bersenda gurau menunggu waktu tidur. Malam itu terasa hangat sekali, ditemani secangkir kopi dan teman-teman yang hebat. Aku senang sekali bisa mengenal mereka. Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat, jam di handphoneku sudah menunjukan pukul 11 malam, ini saatnya kami tidur dan mengumpulkan tenaga yang terkuras seharian untuk bisa sampai ke puncak esok pagi. Kami pun tertidur pulas malam itu.

Saat kami sedang tertidur pulas, tiba-tiba teman kami Jhon membangunkan kami semua, ternyata waktu sudah menunjukan pukul setengah 3 pagi, dan itu saat yang tepat bagi para pendaki memulai perjalanannya kembali menuju puncak Gunung Ciremai. Teman-temanku pun bersiap-siap dan bergegas menyiapkan sarapan agar tidak kelelahan saat di perjalanan nanti. Sementara yang lain bersiap-siap, aku, Levi dan Imam masih berbaring di tenda, jujur saja, saat itu aku tidak kuat untuk keluar tenda, karena udaranya sangat dingin sekali, aku takut terkena hipotermia. Akhirnya, aku, Levi dan Imam memutuskan untuk tetap tinggal di tenda, dan berencana akan menyusul ke puncak nanti. Disamping udara yang sangat dingin, aku dan Imam juga khawatir jika harus meninggalkan Levi di tenda seorang diri, karena dia memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke puncak, karena sudah tak kuat lagi berjalan. Kami bertiga tetap tinggal di tenda menemani Levi. Setelah mentari mulai menampakan dirinya, Levi pun menyuruh aku dan Imam untuk berangkat ke puncak menyusul temanku yang lain yang mungkin sudah sampai puncak. Sebelum berangkat, kami menitipkan Levi kepada petugas ranger yang saat itu sedang patroli di area Pos 7 Pasanggrahan 2.

Ternyata, perjalanan dari Pos 7 menuju puncak masih cukup panjang, dan medannya pun semakin terjal dengan trek bebatuan dan pasir yang tebal. Semakin ke atas, vegetasi pun semakin berkurang, jadi kami hanya bisa berpegangan pada batu-batu yang ada sepanjang perjalanan. Dari Pos 7 Pasanggrahan 2, kami harus melewati 2 Pos lagi, yaitu Pos 8 Sanghyang Ropoh, dan Pos terakhir Goa Walet. Jarak antar Pis setelah Pis 7 memang tidak terlalu jauh, namun karena medan yang semakin terjal dan vegetasi semakin berkurang, membuat waktu tempuh jadi sangat panjang. Dengan sabar kami daki batuan demi batuan di sepanjang perjalanan. Tak jarang kami pun berhenti sejenak untuk sekedar istirahat dan melepas dahaga. Untung saja kami membawa air cukup banyak dari Pos 1 Cigowong, kalau tidak, kami bisa dehidrasi diatas, karena memang benar saja, setelah Pos 1 Cigowong, kami tidak menemukan lagi sumber mata air.

Dan inilah saat yang kami tunggu-tunggu, ya, summit di puncak gunung tertinggi di Jawa Barat dan mengibarkan sangsaka merah putih disini sebagai tanda cinta kami pada Tanah Air ini. Namun disisi lain kami juga bersedih, karena Levi tidak ikut merasakan euforia kami di puncak. Kami mengibarkan sangsaka merah putih sembari bernyanyi lagu Indonesia Raya di puncak ini, kami sangat bangga pada diri kami sendiri, tidak semua orang mampu menaklukan Puncak Gunung Ciremai, namun kami, dengan tekad dan semangat yang menggelora, kami mampu menaklukannya.

Dari atas Puncak Gunung Ciremai, kami bisa dengan jelas melihat hamparan awan bagaikan samudera. Di arah timur juga terlihat puncak Gunung Slamet yang gagah perkasa, serta puncak Gunung Cikuray yang terlihat mengerucut. Terimakasih Tuhan, Engkau telah memberi kekuatan pada kami untuk bisa menikmati karyaMu yang maha indah ini.